Kita tentu pernah mendengar cerita dari generasi yang lebih tua tentang pengalaman mereka menikmati film. Kegiatan menonton di biskop adalah sebuah ritual yang penting dan mengasyikan. Di bioskop orang menikmati film sekaligus bersosialisasi, baik itu pertemanan maupun percintaan. Banyak cerita, lagu dan bahkan film yang menjadikan biskop dan kegiatan menonton sebagai tema dan latar dalam narasinya.
Memasuki masa
televisi swasta indonesia, masyarakat diberikan lebih banyak pilihan. Meskipun TV
swasta tidak membunuh industri film dan bioskop, namun TV swasta juga
menyediakan film-film blockbuster dalam program acara seperti Layar Emas RCTI. Walaupun
film yang diputar di TV biasanya adalah film rilisan tahun sebelumnya, tetap
saja program seperti layar emas dapat menarik perhatian penonton. Pemutaran film
ditempatkan di slot prime Time yang tentu saja dipenuhi dengan reklame. Orang yang
tidak sempat menikmati Spiderman atau Harry Potter di bioskop masih bisa
menonton di layar kaca.
Perkembangan
teknologi digital di awal 2000an meyuburkan fenomena menonton film bajakan. Film
ilegal dalam bentuk cakram digital menjadi pilihan bagi mereka yang merasa bioskop
dan CD original adalah kemewahan. Dengan modal kecil orang sudah bisa menikmati
banyak film. Di era keemasan keping bajakan inilah kita mengalami ribut-ribut soal
hak-hak intelektual seniman dan pembuat film serta penegakan hukum terkait
industri bajakan. DVD player murah dan tumpukan keping bajakan menjadi
pemandangan yang lumrah di era ini. Jumlah penduduk indonesia yang besar
berbanding lurus dengan jumlah penonton yang ujung-ujungnya membuat industri
bajakan semakin digemari.
Seiring dengan
perkembangan jaringan internet di indonesia, model keping bajakan mulai
ditinggalkan dan penonton beralih ke situs-situs penyedia film bajakan. Di era
inilah muncul situs-situs legendaris seperti Ganool dan icinema3satu. Kendala subtitle
bahasa asing teratasi dengan munculnya para penerjemah subtitle seperti GP Mobiles,
IDFL Subs Crew, Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng. Nama-nama ini bahkan menjadi
semacam jaminan mutu bagi para penikmat bajakan. Nama yang berarti kualitas gambar yang bagus dan
subtitle yang baik. Pada masa ini, pilihan orang untuk menikmati film bajakan
tidak semata-mata karena harganya yang murah, namun juga karena soal ketersediaan
film. Para penonton yang ingin menikmati film lawas Jackie Chan, karya klasik Scorsese
atau film indie Eropa nyaris tidak punya pilihan lain kecuali menonton bajakan.
Ketersediaan
jaringan internet dan kepemilikan perangkat digital (laptop, smartphone, smart
TV) justru membuka jalan kepada pola menonton baru yang akan mengubah penonton,
tontonan dan bahkan industri film itu sendiri.
"Semuanya berubah
sejak negara streaming menyerang"
Layanan streaming
seperti Netflix, HBO Go, Amazon Prime Video dan Apple TV menyediakan akses dan
kenyamanan menonton yang tidak pernah ada sebelumnya. Bermodalkan gawai
sederhana, jaringan internet dan biaya berlangganan yang terjangkau, penonton sudah
bisa menikmati tontonan dengan kualitas gambar premium dan tampilan antarmuka
yang profesional.
Streaming menyediakan
jumlah tontonan yang banyak dan beragam mulai dari film, serial, dokumenter,
musik dan olahraga. Layanan streaming juga menyediakan algoritma yang membantu
penonton untuk menemukan jenis tontonan berdasarkan genre dan jenis tontonan
favorit dari pengguna, daftar film dan series populer internasional dan
domestik. Sehingga tidak heran, personalisasi semacam membuat penonton menjadi
pelanggan sebuah produk streaming yang sama namun dengan dunia tontonan yang
jauh berbeda.
Layanan streaming
juga bisa mengawinkan aktivitas menonton dengan tren lain yaitu media sosial. Dengan
mudah penonton dapat membagikan pengalaman, ekspresi dan kritik mereka terhadap
sebuah film ke dalam akun media sosial masing-masing. Perilaku ini menbuat
interaksi sosial sesama penggemar film menjadi lebih mudah dalam diskusi atau
sekadar membicarakan sebuah tontonan.
Namun hal
yang paling menarik dari kemunculan layanan streaming justru terjadi di hulu :
produksi dan distribusi film. Layanan streaming dapat menjadi pilihan baru bagi
para pembuat film yang bisa mendapatkan audiens dengan merilis film mereka secara
eksklusif di layanan streaming seperti Netflix. Pola distribusi ini dapat
menjadi pilihan untuk film-film yang punya kualitas bagus namun terkendala
biaya pemasaran jika harus mengikuti pola distribusi tradisional yang berbiaya
tinggi.
Layanan
streaming juga terbukti mampu menghasilkan original production yang tidak kalah
dengan sistem studio Hollywood. Banyak sutradara ternama berani bekerjasama
dengan Netflix dalam merilis karya mereka seperti Scorsese (The Irishman), Coen
Brothers (The Ballad of Buster Scruggs), Alfonso Cuaron (Roma), Steven
Soderbergh (The Laundromat), Michael Bay (6 Underground) dan Bong Joon Ho (Okja).
Untuk film
Indonesia sendiri, produksi orisinil sebuah layanan streaming dapat membantu
sineas indonesia untuk mendapatkan apresiasi yang lebih luas dari audiens
internasional, hal ini sebelumnya hanya bisa didapatkan melalui jalur festival
film internasional. Jumlah layanan streaming juga meningkatkan kebutuhan
pekerja film din indonesia, sebuah lapangan kerja yang selama ini hanya
terbatas dalam lingkup produksi film untuk rilisan bioskop.
Di sini nonton, di sana nonton, di mana-mana ku nonton film. Secara keseluruhan, budaya menonton film adalah fenomena universal yang terus berkembang, meskipun melalui media dan cara yang berbeda. Dalam era digital saat ini, teknologi telah menghadirkan banyak pilihan untuk menikmati film, mulai dari layanan streaming online hingga bioskop fisik. Meskipun perubahan dalam cara kita mengakses film, esensi dari budaya menonton film tetap sama, yaitu sebagai bentuk hiburan dan medium ekspresi seni yang dapat menghubungkan dan mempengaruhi audiens di seluruh dunia. Budaya menonton film memungkinkan kita untuk menjelajahi cerita-cerita dari berbagai budaya, merayakan keragaman, dan mengapresiasi keunikan setiap karya film, baik itu melalui layar besar bioskop, layar televisi di rumah, atau perangkat mobile. Dalam berbagai bentuknya, budaya menonton film tetap menjadi pengalaman universal yang merangkul audiens di seluruh dunia, menjembatani perbedaan geografis, budaya, dan bahasa.
Great thoughts!
BalasHapusThank You!
Hapus