Jumat, 14 April 2023

Film Mengalir Sampai Jauh

Kita tentu pernah mendengar cerita dari generasi yang lebih tua tentang pengalaman mereka menikmati film. Kegiatan menonton di biskop adalah sebuah ritual yang penting dan mengasyikan. Di bioskop orang menikmati film sekaligus bersosialisasi, baik itu pertemanan maupun percintaan. Banyak cerita, lagu dan bahkan film yang menjadikan biskop dan kegiatan menonton sebagai tema dan latar dalam narasinya.

Memasuki masa televisi swasta indonesia, masyarakat diberikan lebih banyak pilihan. Meskipun TV swasta tidak membunuh industri film dan bioskop, namun TV swasta juga menyediakan film-film blockbuster dalam program acara seperti Layar Emas RCTI. Walaupun film yang diputar di TV biasanya adalah film rilisan tahun sebelumnya, tetap saja program seperti layar emas dapat menarik perhatian penonton. Pemutaran film ditempatkan di slot prime Time yang tentu saja dipenuhi dengan reklame. Orang yang tidak sempat menikmati Spiderman atau Harry Potter di bioskop masih bisa menonton di layar kaca.

"Tak guna antrian panjang
Apalagi hanya popcorn yang mahal
Karena kita gembira
Bermodal awal 5000-an
Kan kuajak kau dara
Menyaksikan tutur gambar di rumah
Bertumpuk keping bajakan
Masih sempatnya kita berwacana
Menggila (The Upstairs – Digital Video Festival)"

Perkembangan teknologi digital di awal 2000an meyuburkan fenomena menonton film bajakan. Film ilegal dalam bentuk cakram digital menjadi pilihan bagi mereka yang merasa bioskop dan CD original adalah kemewahan. Dengan modal kecil orang sudah bisa menikmati banyak film. Di era keemasan keping bajakan inilah kita mengalami ribut-ribut soal hak-hak intelektual seniman dan pembuat film serta penegakan hukum terkait industri bajakan. DVD player murah dan tumpukan keping bajakan menjadi pemandangan yang lumrah di era ini. Jumlah penduduk indonesia yang besar berbanding lurus dengan jumlah penonton yang ujung-ujungnya membuat industri bajakan semakin digemari.

Seiring dengan perkembangan jaringan internet di indonesia, model keping bajakan mulai ditinggalkan dan penonton beralih ke situs-situs penyedia film bajakan. Di era inilah muncul situs-situs legendaris seperti Ganool dan icinema3satu. Kendala subtitle bahasa asing teratasi dengan munculnya para penerjemah subtitle seperti GP Mobiles, IDFL Subs Crew, Pein Akatsuki dan Lebah Ganteng. Nama-nama ini bahkan menjadi semacam jaminan mutu bagi para penikmat bajakan. Nama yang berarti kualitas gambar yang bagus dan subtitle yang baik. Pada masa ini, pilihan orang untuk menikmati film bajakan tidak semata-mata karena harganya yang murah, namun juga karena soal ketersediaan film. Para penonton yang ingin menikmati film lawas Jackie Chan, karya klasik Scorsese atau film indie Eropa nyaris tidak punya pilihan lain kecuali menonton bajakan.

Ketersediaan jaringan internet dan kepemilikan perangkat digital (laptop, smartphone, smart TV) justru membuka jalan kepada pola menonton baru yang akan mengubah penonton, tontonan dan bahkan industri film itu sendiri.

"Semuanya berubah sejak negara streaming menyerang"

Layanan streaming seperti Netflix, HBO Go, Amazon Prime Video dan Apple TV menyediakan akses dan kenyamanan menonton yang tidak pernah ada sebelumnya. Bermodalkan gawai sederhana, jaringan internet dan biaya berlangganan yang terjangkau, penonton sudah bisa menikmati tontonan dengan kualitas gambar premium dan tampilan antarmuka yang profesional.

Streaming menyediakan jumlah tontonan yang banyak dan beragam mulai dari film, serial, dokumenter, musik dan olahraga. Layanan streaming juga menyediakan algoritma yang membantu penonton untuk menemukan jenis tontonan berdasarkan genre dan jenis tontonan favorit dari pengguna, daftar film dan series populer internasional dan domestik. Sehingga tidak heran, personalisasi semacam membuat penonton menjadi pelanggan sebuah produk streaming yang sama namun dengan dunia tontonan yang jauh berbeda.

Layanan streaming juga bisa mengawinkan aktivitas menonton dengan tren lain yaitu media sosial. Dengan mudah penonton dapat membagikan pengalaman, ekspresi dan kritik mereka terhadap sebuah film ke dalam akun media sosial masing-masing. Perilaku ini menbuat interaksi sosial sesama penggemar film menjadi lebih mudah dalam diskusi atau sekadar membicarakan sebuah tontonan.

Namun hal yang paling menarik dari kemunculan layanan streaming justru terjadi di hulu : produksi dan distribusi film. Layanan streaming dapat menjadi pilihan baru bagi para pembuat film yang bisa mendapatkan audiens dengan merilis film mereka secara eksklusif di layanan streaming seperti Netflix. Pola distribusi ini dapat menjadi pilihan untuk film-film yang punya kualitas bagus namun terkendala biaya pemasaran jika harus mengikuti pola distribusi tradisional yang berbiaya tinggi.

Layanan streaming juga terbukti mampu menghasilkan original production yang tidak kalah dengan sistem studio Hollywood. Banyak sutradara ternama berani bekerjasama dengan Netflix dalam merilis karya mereka seperti Scorsese (The Irishman), Coen Brothers (The Ballad of Buster Scruggs), Alfonso Cuaron (Roma), Steven Soderbergh (The Laundromat), Michael Bay (6 Underground) dan Bong Joon Ho (Okja).

Untuk film Indonesia sendiri, produksi orisinil sebuah layanan streaming dapat membantu sineas indonesia untuk mendapatkan apresiasi yang lebih luas dari audiens internasional, hal ini sebelumnya hanya bisa didapatkan melalui jalur festival film internasional. Jumlah layanan streaming juga meningkatkan kebutuhan pekerja film din indonesia, sebuah lapangan kerja yang selama ini hanya terbatas dalam lingkup produksi film untuk rilisan bioskop.

Di sini nonton, di sana nonton, di mana-mana ku nonton film. Secara keseluruhan, budaya menonton film adalah fenomena universal yang terus berkembang, meskipun melalui media dan cara yang berbeda. Dalam era digital saat ini, teknologi telah menghadirkan banyak pilihan untuk menikmati film, mulai dari layanan streaming online hingga bioskop fisik. Meskipun perubahan dalam cara kita mengakses film, esensi dari budaya menonton film tetap sama, yaitu sebagai bentuk hiburan dan medium ekspresi seni yang dapat menghubungkan dan mempengaruhi audiens di seluruh dunia. Budaya menonton film memungkinkan kita untuk menjelajahi cerita-cerita dari berbagai budaya, merayakan keragaman, dan mengapresiasi keunikan setiap karya film, baik itu melalui layar besar bioskop, layar televisi di rumah, atau perangkat mobile. Dalam berbagai bentuknya, budaya menonton film tetap menjadi pengalaman universal yang merangkul audiens di seluruh dunia, menjembatani perbedaan geografis, budaya, dan bahasa.

 

2 komentar: