Jimmy Jazz tewas ditikam.
Peristiwa itu berlangsung ketika hari masih pagi. Jimmy Jazz sedang menyiram
bunga depan rumahnya di Batu Gong saat maut menyapa. Belati milik si pembunuh
disarangkan ke lambung Jimmy Jazz. Seorang remaja yang pertama melihat Jimmy
yang sekarat, bilang kalau Jimmy hanya merintih dengan suara yang nyaris tak
terdengar sambil memegang isi perutnya yang sudah terburai.
Kabar dengan cepat tersebar ke penjuru kota.
Orang-orang dengan serentak meratap di mata jalan dan puncak-puncak gedung.
Tangis-tangis liar di pasar dan pelabuhan ikut menyebarkan gelombang duka
kepada langit dan awan.
Kematian menciptakan duka, duka membawa airmata,
airmata melahirkan amarah yang berubah wujud jadi rusuh di jalanan kota. Selang
tiga jam sejak kabar Jimmy tewas, puluhan toko di kawasan Passo dilempari batu
oleh masyarakat. Kemarahan bercampur rasa duka yang mendalam membuat ratusan
orang menjadi kehilangan akal dan menjadikan toko-toko itu sebagai sasaran. Pasukan
pengamanan datang, Membuat orang-orang yang kerasukan setan duka itu menangis
karena gas air mata. Amarah itu akhirnya bisa jinak, bukan karena peluru tajam
melainkan karena duka itu sendiri sudah memasuki fase tenang.
Orang-orang lalu menyergap balai kota dan markas
polisi daerah, melempar tuntutan kepada penguasa untuk menangkap pembunuh Jimmy
lalu menyerahkannya kepada penghakiman rakyat. Perwakilan masyarakat diterima
oleh pejabat daerah. Aparat bersiaga dengan senjata lengkap. Situasi kota
yang tenang tiba-tiba berubah jadi tegang.
Siang harinya, penduduk kota dengan rasa
persatuan yang luar biasa,tanpa memandang suku dan agama, dengan segera
membentuk satu forum untuk memutuskan pemakaman Jimmy Jazz. Mereka berkumpul di
Pattimura Park, saling menyapa satu sama lain, mengheningkan cipta sejenak
untuk menghormati Jimmy jazz, lalu kemudian memulai rapat tentang hari
pemakaman.
Ada ketegangan tercipta di masyarakat. Isu-isu
dengan cepat tersebar tentang siapa yang membunuh Jimmy Jazz. Orang-orang mulai
saling curiga. Ada yang bilang Jimmy dibunuh karena ada rencana untuk
mengobarkan perang di kota ini. Mengingat Jimmy adalah orang pertama yang harus
dimatikan jika ingin merusak perdamaian yang sudah tercipta di tanah ini. Para
pemimpin masyarakat dengan bijaknya menghimbau agar semua belajar dari
pengalaman. tetap tenang dan mengabaikan kabar burung itu dan
fokus untuk ritual penghormatan terakhir kepada Jimmy Jazz.
Pemerintah daerah menggelar konferensi pers yang
disiarkan stasiun televisi lokal. Memberi kabar resmi tentang kematian Jimmy
dan upaya pengejaran pelaku. Polisi sudah meminta keterangan dari beberapa
saksi mata. Walikota Ambon meminta kepada masyarakat untuk menyerahkan kasus
ini kepada pihak kepolisian. Menonton siaran itu, masyarakat menjadi lebih
tenang. Acara televisi sore itu dilanjutkan dengan dokumenter sigkat tentang
Jimmy Jazz. Banyak sekali yang menangis menyaksikan dokumenter itu, terutama
ibu-ibu dan anak-anak.
Forum rakyat memutuskan Jimmy Jazz dimakamkan
pada hari Minggu. Kota penuh bendera hitam, lilin-lilin serta bunga.
Radio-radio memutar lagu favorit Jimmy Jazz. Jalan-jalan tampak lebih ramai
dari biasanya. Orang berlalu-lalang membawa bendera, poster, spanduk yang
bergambar wajah Jimmy Jazz.
Hari pemakaman pun tiba. Semua orang sudah
siapkan baju hitam. Pemandangan lama tercipta lagi ketika panzer-panzer turun
ke jalan bersama serdadu-serdadu yang berbaris rapi di belakangnya. Masyarakat
yang melihat situasi itu dengan cepat menjadi panik meski masih berselimut
duka. Rasa takut yang sudah terkubur lama tiba-tiba muncul lagi. Para serdadu
yang melihat hal itu hanya tersenyum kepada masyarakat. Dengan satu aba-aba,
para serdadu menyanyikan lagu yang sudah sangat melekat di kepala penduduk kota
“The police
walked in for Jimmy Jazz
I said, he ain't here, but he sure went past
Oh, you're looking for Jimmy Jazz”
I said, he ain't here, but he sure went past
Oh, you're looking for Jimmy Jazz”
Ketakutan itu luntur seketika. Masyarakat
histeris lalu ikut bernyanyi bersama serdadu. Masyarakat lalu membentuk barisan
di belakang barisan militer. Dengan langkah tegap mereka ikut iring-iringan
menuju pusat kota untuk bergabung bersama manusia-manusia lain yang juga sedang
berduka.
Di perempatan jalan ada rombongan polisi lalu
lintas dengan rompi hijau cerah. Brigade Mobil dan kesatuan-kesatuan lain juga
ada di sana. Semua berseragam gagah lengkap dengan senjata. Pasukan kepolisian
itu tersenyum sambil menyatukan nyanyian dengan iring-iringan pertama.
“Sattamassagana
for Jimmy Dread
Cut off his ears and chop off his head
Police came looking for Jimmy Jazz”
Cut off his ears and chop off his head
Police came looking for Jimmy Jazz”
Meriam ditembakkan dari kapal-kapal patroli
Angkatan Laut yang berlabuh di Teluk Ambon. Suara dentuman besar membelah udara.
Di langit ada pesawat tempur melintas dan meghamburkan bunga-bunga. Harum
semerbak turun perlahan dari angkasa. Kelopak-kelopak bunga menari-nari di
udara mengikuti irama yang dinyanyikan manusia.
Sore itu langit mendung. Hujan mungkin malu untuk
turun karena air mata ratusan ribu manusia sudah membuat basah jalan raya, setapak maupun lorong-lorong.
Waktu menunjukkan pukul setengah lima di sore hari. Di minggu petang itu sebuah
mobil pick up yang penuh hiasan bunga
memimpin iring-iringan manusia yang serupa lautan bergelombang. Di atas pick up terbaring jenazah seorang pria tua
yang tersenyum. Jenggot dan kumisnya berwarna hitam mengkilat.
Jimmy Jazz tidak punya istri dan anak. Tak ada
yang tahu siapa bapak ibunya, atau dari negeri mana dia berasal. Banyak juga
yang ragu kalau Jimmy itu orang Maluku karena tak seorangpun tahu apa marga
aslinya. Dia juga tak punya akte kelahiran maupun kartu tanda penduduk.
Di beberapa kesempatan ceramah atau pidato umum,
Jimmy pernah menyinggung tentang kematiannya. Ketika itu Jimmy bilang kalau
suatu hari nanti dia akan dibunuh. Tidak seorangpun yang tahu Jimmy Jazz
menganut agama apa. Di wawancara televisi Jimmy tampak mengerti tentang banyak
agama. Jimmy juga tak pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dia atheis. Jimmy
yang dikenal malu-malu dan sedikit bicara, pernah berucap di mimbar pidato,
bahwa dia ingin jenazahnya dibakar jika dia mati lalu abunya dihamburkan
di udara.
Iring-iringan yang sangat panjang itu akhirnya
berlabuh di pattimura park. Jenazah Jimmy digotong ke dalam kompleks taman.
Tepat di bawah patung pattimura, telah disiapkan tumpukan kayu untuk membakar
jenazahnya. Pattimura park, Lapangan Merdeka dan jalan-jalan di sekelilingnya
dipenuhi manusia. Seisi kota berkabung.
Para pejabat daerah dan orang-orang penting kota
Ambon ikut berbaur dengan masyarakat tanpa pengawalan berarti. Tidak ada tempat khusus yang
disiapkan bagi mereka. Acara hari itu tampak sederhana sekali. Mungkin
iring-iringan khas militer saja yang member kesan megah dan tidak biasa.
Jasad Jimmy sudah terbaring di atas tumpukan
kayu. Senapan ditembakkan ke udara sebagai penghormatan terakhir dan api pun berkobar menyelimuti jasad Jimmy
Jazz. Kobaran api membumbung tinggi ke langit. Api itu menari-nari.
Kobaran api berubah bentuk mejadi wajah Jimmy
Jazz yang sedang tersenyum. Hanya sebentar saja, lalu bentuk itu menghilang dan
menjadi kobaran api yang normal.
Semua orang menangis tanpa malu-malu. Mata mereka
tertuju pada api di tengah taman. Mungkin Jimmy ingin dimakamkan dengan api,
sama seperti kota ini, yang nyaris tamat karena api. Jimmy Jazz bukan gangster
dengan ribuan anak buah, atau petinggi militer berkuasa. Dia bukan pengusaha
banyak duit. Bukan juga pemimpin agama yang punya pengaruh luas. Setelah kota
ini pulih dari perang, Jimmy tinggal sendiri.
Meski Dia berpakaian
seperti pemimpin sekte-sekte., Jimmy tidak menerima murid atau hendak
mengumpulkan pengikut. Banyak orang bilang Jimmy itu punya ilmu, padahal
dia tidak pernah pamer-pamer kesaktian di depan mata banyak orang. Pernah suatu
kali ada beberapa orang bercerita kepada khalayak tentang kemunculan Jimmy
untuk pertama kalinya. Orang-orang yang bercerita itu adalah mantan milisi yang
dulunya ikut bertempur ketika kota ini dilanda perang. Cerita-cerita itu
kemudian dijadikan bahan untuk sebuah buku yang ditulis oleh seorang sosiolog Jerman bernama Hanz Hubermann. Buku itu diberi judul “Jimmy Jazz and His Magic
Radio”
**
Jimmy Jazz dikenal saat kota ini masih
ramai dengan suara ledakan. Aroma belerang menguap ke udara. Asap hitam
berkumpul menjadi kabut yang seperti tirai di langit. Mengurangi jarak pandang.
Puncak-puncak bukit tak lagi terlihat dari tengah kota. Air laut di Teluk Ambon
sudah amis karena polusi mayat. Ada mayat yang terapung, setengah tenggelam
atau sepenuhnya tenggelam. Nelayan tidak bisa melaut lagi karena ikan-ikan
sudah kenyang bangkai orang. Ikan-ikan enggan makan umpan nelayan, ikan-ikan lebih
suka makan daging nelayan.
Siang hari yang cera pun tetap terasa
mencekam. Kota Ambon terbagi menjadi kantong-kantong kecil berdasarkan agama.
Pertempuran jadi aktifitas rutin setiap hari. Sekolah-sekolah masih beroperasi
menyebar ilmu, meski tetap dihantui rasa takut. Jika daerah-daerah terbentuk
berdasarkan agama, maka pastilah tercipta seuatu yang disebut perbatasan.
Daerah perbatasan biasanya menjadi tempat pertempuran yang paling sengit
berlangsung. Aparat medirikan pos penjagaan di daerah perbatasan untuk
menghalau dua kubu milisi yang berseteru.
Ekonomi lumpuh karena toko-toko dan pusat belanja
tidak bisa beroperasi. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Darurat
sipil diberlakukan di kota berjuluk manise ini. Jurnalis dari seluruh penjuru
dunia datang untuk meraup berita. Berbekal nyali dan juga peralatan kamera,
mereka membangun kisah tentang horror dan keberanian. Ada berita yang berimbang
dan menyudutkan negara karena gagal menjaga keselamatan rakyatnya. Ada juga
gambar-gambar yang disunting guna dijadikan bahan propaganda. Cuplikan gambar
mayat-mayat tanpa kepala yang berjukstaposisi dengan gambar bocah menangis di
depan sebuah rumah yang tengah terbakar. Gaya penyuntingan gambar seperti itu
biasanya ditambah dengan musik-musik bertema religi untuk membakar semangat
juang bagi orang-orang di luar Ambon. Agar mereka mau memberi bantuan
berupa uang, perbekalan atau bakan ikut berperang bersama “sudara-saudara
seiman” di kota Ambon. Kedua kubu melancarkan bentuk propaganda yang sama.
Video-video itu dipoles menurut gaya masing-masing.
Jaringan berita nasional meliput kota Ambon
sebagai sebuah medan pertempuran agama yang berlarut-larut. Ambon yang
digambarkan adalah kota yang hancur lebur. Gedung-gedung tinggal puing-puing
seperti pemandangan di Sarajevo. Kelompok sipil bersenjata saling bantai.
Manusia sudah kehilangan belas kasih dan penghargaan terhadap kehidupan. Banyak
peneliti yang mencoba mengurai akar masalah. Ada yang menulis esai tentang
perang saudara dan hubunganya dengan krisis sosial. Ada yang berusaha menulis
buku beraroma konspirasi. Menghubungkan pucuk-pucuk senapan yang diangkat orang
Ambon dengan penyakit separatisme. Maka terciptalah banyak penjelasan tentang
pertumpahan darah yang sedang terjadi. Sosial, politik, agama, budaya, ekonomi,
premanisme, fanatisme, kecemburuan, persaingan penguasa, pemberontakan dan
ketidakadilan.
Semua mata tertuju ke pulau kecil yang dikenal
indah tetapi sudah bermandi darah. Ibukota salah satu dari delapan propinsi
yang ikut mendirkan republik ini sekarat karena kegilaan masal yang mengubur
kehidupan dan kemanusiaan.
Masyarakat yang takut karena terancam hidupnya,
merasa harus bangkit dan bertempur membela agama dan kehidupan masing-masing.
Memandang situasi sebagai “membunuh atau dibunuh”. Hari demi hari, bulan demi
bulan, tahun demi tahun, situasi secara keseluruhan masih tetap sama. Kekacauan
bisa memuncak di satu masa, lalu turun beberapa bulan setelahnya. Jika situasi
sudah mulai terkendali, selalu saja ada kejadian yang memicu perang berkecamuk
lagi.
Maka lama kelamaan, masyarakat mapu beradaptasi
dengan perang yang berkepanjangan. Aktifitas kehidupan baru mulai terbentuk
mengikuti pola perbatasan, kebencian dan kematian. Ketakutan akan suara letusan
senjata dan ledakan bom lama kelamaan menjadi berkurang. Setiap orang sudah
terbiasa mendengar kata “kematian” “sniper” dan “provokator”. Anak-anak kecil
jadi gemar bercerita tentang jenis-jenis senjata mulai dari senapan rakitan,
mortar hingga pana-pana babi. Situasi
perang membuat anak-anak lebih lancar menyebutkan jenis-jenis senapan
serbu organik dibandingkan nama tokoh kartun.
Cerita tentang kehilangan orang anggota keluarga
dan orang yang disayang seakan catatan hutang yang tak habis-habisnya. Orang-orang
yang tergusur dari pemukiman membuat mereka dicap pengungsi dan harus tinggal
berdesakan di dalam barak-barak pengungsian.
Mungkin muncul rasa penerimaan di dalam diri
masing-masing orang. Bahwa tanah ini memang harus berlumuran darah demi agama
dan tuhan yang kita bela dengan nyawa. Dan seperti semua ritual lainnya, ritual
yang terlalu sering akan membuatnya kehilangan makna. Dahulu di awal konflik,
orang bisa maju bertempur dengan iman yang tak tergoyahkan. Percaya bahwa Tuhan
menyertai langkah di bawah hujan peluru. Lama-kelamaan perasaan itu pudar.
Perang menjadi rutinitas yang harus dilakukan semata-mata untuk mempertahankan
diri dan teritori dan ancama musuh. Semua orang mulai jenuh dengan pertumpahan
darah yang tidak menghasilka apa-apa selain kehancuran dan kematian.
Bosan dengan situasi perang. Otak di dalam kepala
tiap orang mulai mencetuskan pertanyaan “sampai kapan kita harus saling bunuh?”
Otoritas belum juga muncul secara penuh dan
terang-terangan. Mungkin berteriak dari megafon atau mobil penerangan di jalan
raya. Memerintahkan dua kubu yang berperang untuk berhenti dan membuang
senjata. Lalu kita damai selama lamanya. Semua usaha mencapai perdamaian tampak
seperti penggalan-penggalan pidato yang tak selesai ditulis. Kepercayaan kepada
lembaga-lembaga pemerintahan perlahan namun pasti diganti oleh kepercayaan
kepada kisah-kisah heroik dari kubu masing-masing. Muncul bayak nama tokoh yang
dipuja seperti pahlawan berkemampuan luar biasa. Ada yang kebal peluru, bisa
teleportasi, jago main parang, jago main bom. Cerita-cerita yang dari mulut ke
mulut berubah menjadi mitos. Cerita yang jadi pupuk ampuh untuk membuat
pohon-pohon dendam tumbuh subur bagi generasai berikut.
Bersamaan dengan munculnya kisah-kisah “pahlawan”
itu, nama Jimmy Jazz mencuat ke permukaan dan sampai ke telinga orang-orang.
Dikisahkan ada seorang pria kurus yang jauh dari kesan tangguh. Pria
kurus itu punya kemampuan yang aneh. Jika dia datang di satu lokasi
pertempuran, maka pertempuran itu akan berhenti karena senapan-senapan menjadi
macet dan sumbu bom rakitan tidak bisa terbakar.
Kisah Jimmy Jazz dimasukkan dalam kategori
berbeda dengan kisah-kisah “pahlawan”. Bukan karena Jimmy Jazz kurus dan tidak
terlihat seperti jagoan, melainkan karena Jimmy Jazz itu netral. Dia bukan
milik kedua kubu yang sedang bertikai.
Maka di saat segala sesuatu di dalam kota ini
terbelah menjadi dua, mulai dari masyarakat, sekolah, kantor-kantor pemerintah,
pasar tradisional dan pasar swalayan. Jimmy Jazz muncul sebagai sosok yang melawan
arus.
***
Hari masih subuh. Matahari belum muncul. Para
milisi sebagian besar masih terlelap. Ada beberapa yang berjaga-jaga. Dalam
satu tahun terakhir, pertempuran sudah patuh kepada beberapa aturan tak
tertulis. Entah siapa yang menciptakan aturan-aturan itu. Banyak yang bilang,
kalau ada beberapa orang yang sengaja membuat perang ini tak kunjung usai.
Orang-rang yang ikut serta di dalam perang pun sudah mulai mencium hal ini.
Mereka belajar dari pengalaman di beberapa lokasi pertempuran. Ada beberapa
keanehan yang terjadi. Ada pihak-pihak dari kedua kubu yang berkolaborasi di
lapangan. Ada orang-orang yang dicurigai sebagai pengkhianat. Ada semacam upaya
untuk terus menanamkan dendam dan ketakutan dengan cara apapun, termasuk dengan
cara membunuh kawan sendiri.
Aturan tak tertulis itu mengharuskan perang di
mulai pada pagi hari. Aba-aba bertempur diatur dalam sebuah siaran radio.
Siaran itu bekerja seperti mantra yang membuat semua orang kalap dan ingin
saling bunuh. Hal ini tentu saja janggal bagi semua orang. Untuk apa mereka
patuh pada gelombang radio. tetapi sudahlah, akal sehat sebaiknya dipakai saja
untuk bertempur dan melindungi agama sendiri.Tak perlu berpikir tentang apa dan
sapa yang ada di balik semua ini.
Toko kain, toko buku, toko perhiasan, apotik,
swalayan sudah ditinggalkan pemiliknya. Gedung-gedung itu sudah jadi
tempat pertahanan milisi dari kedua kubu. Jalan-jalan kota sepi sekali. Tidak
ada orang hidup yang berkeliaran. Semua siaga di balik tembok sambil memegang senapan,
parang, panah dan tombak-tombak. Mayat-mayat bergelimpangan di aspal.
Mayat-mayat belum bisa dikubur karena regu penolong takut pada penembak jitu.
Peluru-peluru para penembak jitu itu membabi buta. Tak peduli palang merah,
bulan sabit merah atau bendera putih. Penembak jitu akan selalu membunuh tanpa
ampun. Penembak jitu berusaha menjaga agar semua orang tetap berperang dan
tidak bertanya untuk apa mereka berperang. Penembak jitu juga bertugas membunuh
orang-orang yang punya pemikiran tentang persatuan, perdamaian, kehidupan,
cinta dan memaafkan.
Para penembak jitu bermarkas di gedung-gedung
tinggi. Mereka seperti sebuah mata sakti yang bisa melihat ke segala arah. Jika
ada gerak-gerik yang tidak sesuai aturan, akan langsung ditembak di tempat.
Sesuai dengan namanya, penembak jitu tak pernah meleset saat menembak sasaran.
Kedua kubu memulai aktifitas peperangan dengan
menyalakan radio masing-masing. Radio yang memutar lagu religi sesuai agama
masing-masing. Lagu pertama berirama padang pasir. Yang satu lagi terdengar
seperti lagu mars penuh semangat. Biasanya mendekati refrain kedua,
peluru-peluru dimuntahkan, panah ditembakkan, meriam diledakkan, sumbu bom
dibakar. Dentuman di kiri dan kanan. Desing peluru, teriakan di penghujung
nyawa, aroma darah campur ketakutan dan pekik nama Tuhan.
Ketika lagu religi masing-masing kubu sudah
memasuki bagian Coda, dan terdengar dentuman yang besar sekali, lalu
radio-radio mati dengan sendirinya. senapan berhenti berbunyi, tidak ada
ledakan bom lagi. Hening seketika. Perang hari ini sudah selesai dan akan
dilanjutkan besok. Selalu begitu setiap hari. Radio-radio otomatis menyala, dan
orang-orang dibius untuk menembaki kubu dengan siaran radio yang berbeda.
Saat logika berkesempatan untuk hadir di kepala,
orang-orang selalu bertanya di dalam hati mereka
“siapa yang memilih lagu di radio ini?”
“siapa yang mengatur jadwal pemutarannya?”
“seandainya radio ini tidak ada, bukankah
kita tak mesti berperang setiap hari? ”
“mengapa tidak kita hancurkan saja stasiun dan
tiang-tiang pemancar radio ini?”
Milisi kedua kubu merasa ini adalah sebuah kebodohan
yang dipaksakan. Hati mereka tak tenang. Jika ini perang suci, bukankah harus
ada tanda-tanda dari Tuhan? bukan sekadar siaran radio mengudara lalu baku
tembak terjadi. Tetapi mereka takut untuk melawan. Mereka takut jika tidak maju
membela agama. Atau mungkin mereka takut kepada penembak jitu, entahlah.
Matahari terbit lagi keesokan harinya. Semua
orang bangun lagi. Masih mengantuk sudah harus mengangkat senjata. Perut lapar
karena belum sarapan. Dengan setengah hati, mereka sembunyi di balik tembok
sambil menunggu lagu aba-aba dari radio.
Hening lama sekali, tidak seperti biasa. Para
milisi sudah menunggu sampai gemetar. Jari sudah siap di pelatuk. Semua
keringat dingin.
beberapa saat kemudian, radio-radio akhirnya
sepakat bersuara, mengumandangkan sebuah lagu baru berbahasa asing
“The police walked in for Jimmy Jazz
I said, he ain't here, but he sure went past
Oh, you're looking for Jimmy Jazz”
I said, he ain't here, but he sure went past
Oh, you're looking for Jimmy Jazz”
Semua nafas tertahan. Para
milisi pucat dan menelan ludah. Apa gerangan yang sedang terjadi? Ke mana
perginya lagu pembakar semangat yang biasa mereka dengan setiap pagi. Mengapa
siaran diganti dengan lagu aneh ber-vokal terseret-seret begini. Orang-orang
mulai panik. Mereka meletakkan senapan dan perlengkapan perang di lantai.
Mengeluarkan kepala dari jendela-jendela yang sudah rusak terkena peluru.
Memasang telinga ke radio yang diputar kubu seberang. Sialnya radio-radio pihak
lawan juga memutar lagu yang terseret-seret itu!
“Sattamassagana for Jimmy Dread
Cut off his ears and chop off his head
Police came looking for Jimmy Jazz”
Cut off his ears and chop off his head
Police came looking for Jimmy Jazz”
Suasana mulai ramai, bukan oleh
tembakan atau ledakan, melainkan oleh teriakan orang-orang sambil menunjuk ke
satu arah.
“Jimmy!, Jimmy!” suara-suara memanggil satu nama.
Orang-orang lain di dalam gedung
bingung setengah mati dengan situasi ini.
“Jimmy siapa?” Tanya seorang
bapak kurus
“seng tahu” bapak gemuk menjawab
“Jimmy Jazz! Itu Jimmy Jazz!” seorang
remaja berkulit gelap berteriak girang
“Jimmy Jazz siapa?”
“Jimmy Jazz! Dia orang sakti.
Bikin orang mati hidup. Bisa bikin orang hidup mati juga.
beta pung teman di perbatasan
batu merah cerita. Ada om-om kurus turun ke jalan bawa gerobak. Lalu tiba-tiba
senjata semua rusak, seng bisa tembak. Dong bilang antua itu nama Jimmy Jazz.
Dong bilang antua punya ilmu sadis”
“Jimmy Jazz? Fam Jazz itu dar
mana e?”
Bapak gemuk dan bapak kurus yang
penasaran mengeluarkan kepala mereka dari jendela dan tembok yang berlubang
lalu meihat ke jalan.
Jalan masih sepi, Cuma ada
mayat-mayat. Di ujung jalan ada seorang pria paruh baya, kurus, Berkulit gelap,
berambut keriting yang dibiarkan panjang terurai, memakai celana pendek hitam,
bertelanjang dada sambil mendorong sebuah gerobak yang penuh mayat. Dia
menggantung sebuah radio di lehernya yang juga memutar lagu terseret-seret itu.
Pria kurus itu berhenti dan mengangkat mayat-mayat di jalanan, menyusun
mayat-mayat itu dengan rapi di atas gerobak, lanjut berjalan lagi.
Letusan-letusan kecil terjadi di
sekeliling pria kurus itu. Para penembak jitu mulai bertugas. Penembak yang
entah datangnya dari kubu mana, mungkin saja dari kedua kubu. Penembak-penembak
ingin membunuh pria kurus karena dia berani berjalan lewati batas yang sudah
ditetapkan. Peluru-peluru lewat beberapa sentimeter dari kulit pria kurus
itu. Peluru yang meleset terpantul dan mendarat di tiang listrik, trotoar,
pohon-pohon juga tempat sampah. Para milisi dari kedua sisi bersorak gembira. Seperti sedang nonton bola saja. Pria kurus ini hiburan yang menarik untuk
mereka yang sudah letih berperang setiap hari. Mereka memberi dukungan kepada
pria kurus. Mereka seakan sudah lupa di pihak mana mereka bertempur, sekarang
mereka semua adalah pendukung pria kurus. Tembakan makin menggila, pria kurus
tetap maju meski dihujani peluru bahkan dilempari granat tangan.
Orang-orang yang bertahun-tahun
ikut perang hanya terpana sambil membuka mulut lebar-lebar. Ternyata yang
disebut “perang suci” ini ada panitia penyelenggaranya. Para penembak jitu ini
pastilah orang-orang seksi keamanan. Yang bertugas menjaga “keamanan” perang.
Pasti ada seksi-seksi lain seperti seksi acara, seksi dokumentasi, konsumsi dan
pendanaan.
“Oh,tidak!” semua orang serentak
berucap sambil menepuk dahi masing-masing. Mereka merasa tertipu.
Pria kurus tidak bawa senjata.
Dia terus ditembaki namun tak ada peluru yang bersarang di tubuhnya. Para
penyerang makin dekat. Ada yang sudah siapkan parang untuk menebas pria kurus
karena pelor terus meleset.
Pria kurus memandangi para
penyerang yang lari mendekatinya. Dia tersenyum sejenak, lalu memutar Knob
Volume radio yang digantung di lehernya. Suara terseret-seret itu berkumandang
dan memekakkan telinga
“So if you're gonna take a message 'cross this town
Maybe put it down somewhere over the other side
See it gets to Jimmy Jazz”
Maybe put it down somewhere over the other side
See it gets to Jimmy Jazz”
Seketika itu juga, suara
terseret-seret itu masuk ke telinga para penyerang, lalu mengocok isi kepala
mereka. Semua penyerang menjerit bersamaan sebelum kepala mereka meledak
seperti semangka yang kena tembak.
Bhaaaaaam!
Milisi dari kedua kubu bersorak
gembira melihat para penembak jitu dikalahkan. Menari dan berpelukan. Banyak
yang menitikkan air mata. Dengan bahagia mereka berteriak sambil melemparkan
radio-radio ke jalan raya, disusul dengan melempar semua senapan, parang dan
tombak tombak.
Mereka semua berhamburan ke
jalan raya, berlari dan melangkahi jasad-jasad para penembak jitu yang sudah tak
berkepala. Semua mengerumuni Jimmy Jazz si pria kurus. Melompat kegirangan
sambil ikut menyanyikan lagu terseret-seret yang baru saja mereka dengar pagi
ini. Mereka tak tahu lirik lagu itu, jadi hanya menyanyikan “nana na na na
nanana”
Jika lirik saja tak tahu, tentu
saja merek juga tidak mengerti makna lagu itu. Tetapi mereka yakin, lagu itu
hebat, lagu itu sakti, seperti Jimmy Jazz yang juga sakti. Membunuh orang
dengan peluru itu hal biasa. Tetapi Jimmy Jazz membunuh dengan lagu. Sungguh
luar biasa. Jimmy Jazz terus mendorong gerobak berisi mayat sementara
orang-orang berjalan di mengikuti dia. Dari lorong lorong muncul banyak gerobak
yang juga ikut mengumpulkan mayat. Mayat para penembak jitu juga ikut
dikumpulkan. Meski mereka jahat, orang-orang berpikir mereka tetap harus
dimakamkan dengan layak.
Jimmy Jazz dan gerobaknya
seperti besi berani yang melintas di tumpukan paku. Semua orang ikuti dia .
Membentuk barisan yang panjang sekali. Mereka semua berjalan menuju ke sebuah
bukit yang tak jauh dari pusat kota.
Suara tembakan dan ledakan tidak
terdengar lagi. Hanya suara riuh manusia yang berbaris mengikuti Jimmy jazz.
Setibanya di atas bukit,
Jimmy Jazz mematika radio yang tergantung di lehernya. Ribuan orang sudah
memadati puncak bukit tersebut. Dari puncak bukit itu tampak kota Ambon yang
penuh asap dan api yang sudah mulai padam.
Semua mata memandangi Jimmy Jazz
yang berdiri di tengah. Orang-orang diam dan duduk manis. Burung-burung juga
ikut bertengger dengan manis di dahan-dahan pohon.
Jimmy Jazz berbicara dengan
suara serak
“Bilanglah padaku,
Baikan mana, damai atau konflik?
Sebab di negeriku damai dan konflik beriring
badendang
Pagi bakalae, malam bakubae
Lalu mengapa pula kau bilang bakalae harus
didamaikan?
Bila bakalae seluhurnya adalah cara kami
kembalikan keseimbangan
Antara langit dan bumi, laut dan pantai, siwa dan lima, ale deng beta
Kami perlukan bakalae, ketika kata-kata tlah
dikotori muslihat
Dan orang-orang lebih suka bersandiwara
Tempiaskan senyuman dari hati yang mendendam
Atau pun hunuskan keris di balik tangan yang
memeluk
Karenanya kami telah belajar bakalae sejak masa
kanak
Menarik garis batas di antara dua petarung
Tanpa seorangpun boleh tacampor
Kami bakalae hingga bermandi darah
Namun dengan darah pula kami bakubae
Meneguknya bersama ketika bakalae telah berakhir
Tanpa peduli siapakah pemenangnya
Karena bakubae adalah keluhuran para petarung
adat
Yang wajib dilakukan, seiring berakhirnya bakalae
Tanpa seorangpun boleh tacampor
Biarkanlah kami bakalae, seturut aturan anak adat
di negeri ini
Jangan pernah kau campuri dan kotori keluhurannya
Tidak pula harus kau anjurkan bakubae bagi kami
Karna sebagaimana kami adalah anak-anak bakalae
Begitulah pula kami adalah anak-anak bakubae”
Jimmy Jazz mengambil radio miliknya lalu memutar
lagi lagu dengan vokal terseret-seret itu. Semua orang bertepuk tangan,
melompat dan menari-nari. Mereka melepaskan semua atribut yang membedakan kawan
dan lawan. Menangis bersama-sama lalu kemudian tertawa bersama-sama.
Burung-burung yang ada di dahan pohon juga berkicau ramai. Seketika itu juga,
kabut asap yang sudah bertahun-tahun hinggap di langit kota menghilang dengan
sendirinya. Dari puncak bukit itu semua orang bisa melihat matahari dengan
gembira menerangi daratan dan lautan. Angin bertiup ramah membawa wangi alam
dan aroma kehidupan.
*Terinspirasi
dari lagu JIMMY JAZZ milik The Clash. Lirik yang tercantum
berasal dari lagu yang sama.
Kata-kata
yang diucapkan Jimmy Jazz di atas bukit adalah puisi BIARKAN KATONG
BAKALAE
karya Pdt.
Jacky Manuputty
No comment!! FORZA Jimmy
BalasHapus